Gabung ke Golkar, Ridwan Kamil Diminta Menangkan Airlangga Hartarto pada Pilpres 2024
Dewan Guru Besar UPI Tolak RUU HIP, Karim Suryadi: Tidak Menunjukkan Antikomunisme

GURU Besar UPI Karim Suryadi berbicara pada Diskusi Kurban, Solidarits Sosial, dan Kesejahteraan Umat yang digelar oleh DKM Masjid Alfurqan Universitas Pendidikan Indpnesia di Aula Pikiran Rakyat, Rabu 7 Agustus 2019
Dewan Guru Besar UPI (DGB UPI) menyatakan sikap menolak Rancangan Undang-undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP), sekaligus meminta DPR dan Pemerintah membatalkan RUU tersebut.
Pernyatan sikap tersebut diambil setelah DGB UPI melakukan telaah kritis dan objektif atas naskah akademik dan RUU HIP yang diusulkan DPR RI.
Dalam pernyataan sikap yang diterima Pikiran Rakyat, Senin, 22 Juni 2020 diuraikan lima poin alasan yang menjadi dasar penolakan.
Kelima poin tersebut antara lain tidak menunjukkan antikomunisme, RUU melemahkan kedudukan Pancasila, merendahkan agama, mengintervensi sistem ilmu pengetahuan, dan intervensi riset juga inovasi nasional.
Saat dikonfirmasi atas pernyataan sikap tersebut, Ketua DGB UPI, Profesor Karim Suryadi membenarkannya.
Ia menyatakan, para guru besar tergugah kesadaran berbangsanya, dan terpanggil kesadaran moral akademiknya atas apa yang menjadi keprihatinan publik terkait substansi RUU HIP.
“Kami mengiris tipis naskah akademik dan draf RUU HIP, lalu bersikap menolak, serta meminta DPR dan Pemerintah membatalkan RUU tersebut. Alasan kunci penolakan karena kami menilai RUU tersebut tidak menunjukkan preferensi anti-komunisme, mendistorsi nilai-nilai dan melemahkan kedudukan Pancasila, merendahkan agama, serta mengintervensi sistem ilmu pengetahuan, riset dan inovasi nasional,” katanya, dalam pernyataan resmi, Rabu, 24 Juni 2020.
Jika DPR dan Pemerintah memaksa mengundangkan RUU tersebut, maka akan berdampak sistemik pada pergeseran sendi-sendi bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Dia menegaskan, draf RUU mengharuskan Haluan Ideologi Pancasila menjadi landasan pendidikan dan dijabarkan dalam kurikulum persekolahan dan pendidikan tinggi, padahal substansinya tidak simetris dengan rumusan Pancasila, sebagaimana tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945.
“Lalu mau dibawa ke mana arah perahu bangsa ini?” kata dia.
Pasal yang memberi kewenangan tanpa batas kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan dalam pembinaan ideologi telah menempatkan Pancasila di dalam genggaman kekuasaan.
Demikian pula tugas dewan pengarah badan yang bertugas membina ideologi yang secara ex officio menjadi ketua dewan pengarah pada kementerian atau badan yang menyelenggarakan riset dan inovasi nasional dapat mengikis independensi keilmuan, merusak objektivitas, bahkan politisasi riset di tanah air.***
Sumber : Pikiran Rakyat